Solo Exhibition “ Melintasi Jaman “By Soetopo


Details
Pameran Tunggal Soetopo “Melintasi Jaman”
28 April sampai 24 Mei 2015
Gallery Kemang 58,
Jl Kemang Raya No 58,Jakarta Selatan
http://photos1.meetupstatic.com/photos/event/3/1/5/6/600_436992630.jpeg
Catatan: Suwarno Wisetrotomo
Zaman (bisa pula ditulis jaman) dan seorang Sutopo adalah sahabat atau bahkan pasangan sejati; saling mengisi dan saling memaknai. Tetapi apakah zaman? Zaman adalah kurun, periode, abad, kala, atau waktu yang menunjukkan keabadian dirinya; di sana ada durasi, masa, tempo, dan citra kecepatan. Sesungguhnya sang kala berada dalam putaran yang konsisten apapun tengaranya; matahari sebagai penunjuk, untuk mengatakan pagi, siang, hingga sore ia menenggelamkan diri untuk kembali muncul esok pagi. Kemudian kehadirannya digantikan bulan dan bintang-bintang, untuk menunjukkan waktu malam. Begitu seterusnya hingga akhir zaman. Dalam pusaran yang konsisten itu, makhluk-makhluk Tuhan, utamanya manusia sebagai kalifatullah, sebagai wakil Tuhan di bumi, terus bertindak dan berbudi daya. Tindakan sebagai suatu peristiwa itulah yang menandai sang waktu, menjadi serpihan-serpihan – semacam puzzle – yang membedakan antara serpihan waktu yang satu dengan serpihan waktu lainnya. Di sanalah, pada puzzle-puzzle itu, serpihan peristiwa yang penuh ‘teka-teki’ itu, apa yang kita sebut sebagai zaman. Sutopo dan zaman adalah pasangan yang saling menandai dan memaknai. Pada yang pertama: abadi, pada yang kedua: fana, atau tak kekal. Namun demikian, karena sifat ke-fana-annya itulah, Sutopo memiliki jejak-jejak berupa artefak seni rupa (lukisan, patung, dan beberapa monumen) yang jauh lebih ‘panjang’ kehadiraannya di dalam semesta.
Lalu, siapakah seorang Sutopo? Ya, dia adalah seorang pria Jawa, pelukis, juga mahir berkarya patung, berusia 85 tahun, tepat pada 19 April 2015 ini. Di usia senjanya, ia masih menyisakan jejak-jejak kegagahannya. Lukisan “Potret Diri” (1992) karyanya; mengenakan kaos dalam putih, bersurjan lurik merah hitam, dalam pose tengah melukis. Tangan kirinya memegang palet berlumur cat, tangan kanan memegang kuas, wajahnya tenang menatap ke depan (seperti tengah diabadikan dengan kamera). Latar belakang pada potret dirinya itu, rupanya lukisan panorama yang tengah ia kerjakan. Sutopo mengaku, lukisan “Potret Diri” itu termasuk yang ia senangi. “Saya merasa apa yang saya inginkan ketika melukis wajah saya, tercapai; merasa dapat menghadirkan diri saya dalam lukisan itu” katanya. Kegagahan dan keperkasaan semangatnya juga dapat disaksikan pada sejumlah karya patung gubahannya; “Model” (1961), patung kepala perempuan muda, cantik dan lembut, dengan rambut panjang; patung kepala “Potret Diri” (1961) dan “Kawan” (1961) berbahan cor semen; atau ketekunannya melukis wajahnya dalam format kecil (30x40 cm), “Potret Diri” (1958); termasuk, tentu saja, lukisan-lukisan Sutopo gubahan tahun 2000-an. Karya-karya itu tak mungkin lahir dari seorang seniman tanpa passion yang perkasa.
Ya, Sutopo dilahirkan di sebuah kampung di Taman Siswa, tengah kota Yogyakarta, pada 19 April 1930. Ia menyaksikan setiap detak perubahan zaman, sejak era kepemimpinan Presiden Soekarno hingga sekarang era Prsiden Jokowi. Tujuh kepemimpinan Presiden Republik Indonesia ia saksikan dan alami. Ia juga menyaksikan perkembangan seni rupa di Indonesia, dari era sanggar-sanggar hingga era akademi. Sutopo adalah murid Sanggar Pelukis Rakyat, kemudian menjadi mahasiswa Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta angkatan pertama, yang terpaksa tidak bisa ia selesaikan, karena alasan ekonomi (“saya tidak bisa membayar uang kuliah” kata Sutopo menjelaskan mengapa ia berhenti kuliah di ASRI pada tahun kedua).
Mulai 27 Januari 1962, jauh sebelum menikah, hingga kini, ia tinggal di Jalan Kaliurang Km. 6, Nomor 42, Yogyakarta bagian utara, berjarak kira-kira satu kilometer dari kampus Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia membeli tanah dan membangun rumah itu, sebelum menikah. Bermula dari rumah berdinding bambu, berlantai tanah, hingga kini, menjadi bangunan permanen, lapang, dan di bagian belakang terdapat sejumlah kamar untuk kost sejumlah mahasiswa. Di halaman depan samping kiri, Sutopo mendirikan satu rumah terpisah, yang dimaksudkan sebagai sanggar, sekaligus tempat memasang karya-karya lukisannya.
Tempat tinggalnya itu, 80 tahun lalu, adalah suatu kampung pinggiran, jauh dari kota Yogyakarta, penuh pepohonan, sawah, dan tanpa listrik. Jalanan terjal hanya dilalui gerobak sapi, sesekali sepeda onthel lewat, selebihnya para pejalan kaki. Kini, Jalan Kaliurang dan sekitarnya adalah ‘kota’ yang amat padat, sibuk, penuh supermarket, hotel, resto, kafe, juga rumah dan kamar-kamar kost yang dihuni para mahasiswa (UGM dan lain-lain). Jalan Kaliurang yang membujur lurus ke utara, yang membelah kampus UGM itu, nyaris tak pernah sepi selama 24 jam. Bahkan seringkali macet oleh kerumunan sepeda motor yang menyemut dan meningkat jumlahnya, atau mobil segala merek, yang memadati jalanan itu; mereka semua itu adalah para pelintas, baik urusan ke kampus; dari utara ke arah kota untuk bekerja, kuliah atau sekolah. Atau dari arah selatan, ke utara, untuk bekerja, atau menuju lokasi wisata Kaliurang. Setiap hari keadaannya semacam itu. Kediaman Sutopo persis dipinggir kiri jalan ke arah utara, sebuah jalur yang hiruk pikuk. Beruntung, karena rumah tinggal Sutopo dan Rubiyati isterinya, seorang Guru Sekolah Dasar (kini sudah menikmati masa pensiun) yang dinikahi pada Oktober 1967, berada di atas area seluas 1.670 meter persegi; punya teras rumah yang luas, halaman yang cukup lebar, dan pepohonan yang rindang, dan tetap terasa nyaman ketika berada di dalamnya. Tanah itu dibelinya dengan uang hasil mendapatkan order proyek karya seni dari Bung Karno, Presiden Pertama Republik Indonesia, untuk membuat patung-patung yang digunakan sebagai elemen interior maupun eksterior Hotel Indonesia yang ketika itu sedang dibangun.
Sutopo masih mengingat peristiwa demi peristiwa dengan baik, dan menuturkannya dengan runtut, serta sesekali tampak emosional, jika terkait dengan hal-hal yang dianggapnya mengesankan, atau menyentuh emosi jiwanya. Ia berbicara dengan nada pelan, hati-hati, dan santun. Ia seorang pelukis, juga seorang pematung handal. Bersama sang kala, Sutopo memaknai hidupnya dengan berkarya; melukis, berkarya patung (potret diri, potret orang lain, diorama, hingga patung-patung monumen). Sang kala bagi Sutopo adalah ruang yang harus dimaknai, agar ruang dalam diri dan di luar dirinya tidak hampa. Sutopo hingga usianya yang menapak 85 tahun, tak bisa disangkal adalah merupakan seniman yang “melintasi zaman”, melewati seluruh era dengan peristiwa dan watak zaman yang berbeda-beda. Sutopo bersekutu dengan waktu yang panjang, untuk mengkreasi karya seni – sketsa, lukisan, patung, monumen – sebagai artefak kehidupannya, sebagai jejak-jejak perjalanan keseniannya dalam bentuk karya seni rupa, yang pantas dicatat dan dibanggakan oleh anak cucunya, sebagai generasi penyambung sejarah.

Solo Exhibition “ Melintasi Jaman “By Soetopo